
Al-Halaj berpendapat bahwa di dalam diri manusia it
sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat 34 surah Al-Baqarah.
Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam, karena yang
berhak diberi sujud hanyalah Allah. Al-Halaj memahami bahwa dalam diri Adam
sebenarnya ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian, karena sebelum menjadi
makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan Dia pun cinta kepada Dzat-Nya
sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab
wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam
bentuk diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk diri-Nya ini
adalah Adam. Menurut Al-Hallaj pada diri Adam-lah, Allah muncul.
Menurut Al-Hallaj
Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu
ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti
manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut
tidak dapat bersatu dengan manusia,
kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaanya hilang,
seperti yang terjadi pada diri Isa. Menurut Al-Hallaj bahwa tuhan memiliki
sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Manusia dapat menghilangkan sifat nasut-nya (sifat kemanusiaanya) apabila
manusia sudah mencapai ke tingkat fana. Dan dengan menghilangkan sifat-sifat nasut mencapai sifat lahut (sifat ketuhanan) yang dapat mengontrol tingkah laku dan
menjadi inti dari kehidupan.
Persatuan antara Tuahan dan manusia dapat terjadi dengan
mengambil bentuk hulul setelah
sifat-sifat kemanusiaanya hilang.
Setelah sifat-sifat kemanusiaanya hilang dan hanya tinggal sifat-sifat
ketuhanan yang ada pada dirinya, disitullah Tuhan mengambil tempat dalam
dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Al-Hallaj berpendapat pada hulul terkandung kefanaan
total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah
kehendak Tuhan, demikian juga tindakanya. Namun, disis lain Al-Hallaj
mengatakan dalam syairnya “Barangsiapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu
dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah
ia. Sebab, Allah mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat
makhluk. Dia tidak sekali-kali
menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menterupai-Nya.”
Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya
tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj
tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan atara
hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul
yang terjadi sekadar kesadaran psikis yang berlansing pada konsisi fana, atau
menurut ungkapannya sekadar terlembarnya nasut
dalam lahut, atau dapat dikatakan
antara keduanya tetap ada perbedaan .

Adapun baqa berasal dari kata baqiya yang artinya tetap.
Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana karena
keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi mengalami fana
maka dia jiaga sedang menjalani baqa.
Ittihad adalah
tahapan selanjutnya yang dialami oleh seorang sufi setelah melalui tahapan fana
dan baqa . Hanya saja dalam leteratur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak di temukan. Dalam tahapan Ittihad seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang
mencintai dan di cintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi
telah merasa dirinya bersaru dengan Tuhan, satu tingkatan yang menunjukkan
bahwa yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari
mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku.”
Dalam Ittihad yang
dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu
dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad dapat terjadi pertukanran antara yang mencintai
dan yang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Sufi yang bersangkutan,
karena fananya tidak mempunyai kesadaran lagi dan berkata dengan nama Tuhan.
Abu Yazid dengan fananya, meninggalkan dirinya dan pergi ke
hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada di dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang di ucapkan. Syatahat
adalah ucapan-ucapan dari seorang sufi yang tidak rasional yang dapat
membingungkan bahkan menyesatkan pada pendengarnya khususnya bagi kalangan
awam. Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu Abu
Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab,”Abu yazid.” Abu
Yazid berkata,”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa
dan Mahatinggi.”
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara
sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Akan tetapi, para sufi
yang telah mencapai puncak ma’rifat sebagaimana Abu Yazid memang terkadang
sering melontarkan kalimat-kallimat syatehat
yang tidak mudah di pahami oleh kalangan awam.
Sumber : Amin,Samsul Munir.2012.Ilmu Tasawuf.Jakarta:Amzah
EmoticonEmoticon